Wacana penggunaan kripto sebagai instrumen pembayaran kembali menjadi sorotan di Indonesia, seiring dengan pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Industri kripto di tanah air menyambut baik peluang ini, namun menyoroti pentingnya kepastian regulasi untuk mendorong pertumbuhan yang berkelanjutan.
Dorongan Aspakrindo-ABI dan Usulan Harmonisasi Regulasi
Asosiasi Blockchain dan Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo-ABI) menjadi salah satu pihak yang aktif mendorong agar revisi UU P2SK memberikan ruang lebih luas bagi inovasi kripto. Tujuannya adalah mengintegrasikan kripto dengan sektor keuangan tradisional, seperti perbankan dan sistem pembayaran yang ada.
Wakil Ketua Umum Aspakrindo-ABI, Yudhono Rawis, dalam rapat Panja Revisi UU P2SK dengan Komisi XI DPR RI pada Rabu, 24 September 2025, merekomendasikan agar regulasi terkait kripto memberikan perhatian khusus pada inovasi, terutama dalam hal penggunaan sebagai alat pembayaran. Menurut Yudhono, harmonisasi regulasi antara Bank Indonesia (BI) yang mengatur pembayaran dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengawasi exchange dan blockchain, sangat penting untuk perkembangan kripto di Indonesia. Ia berharap dengan harmonisasi ini, kripto dapat bertransformasi dari sekadar instrumen investasi menjadi alat pembayaran yang sah.
Usulan ini disampaikan melalui keterangan pers pada Jumat, 3 Oktober 2025, menandai komitmen industri untuk mendukung adopsi kripto yang lebih luas di masyarakat.
Respons Positif dari Tokocrypto dan Kebutuhan Kerangka Regulasi yang Jelas
CEO Tokocrypto, Calvin Kizana, menyambut positif usulan Aspakrindo-ABI. Ia menekankan pentingnya kerangka regulasi yang progresif dan adaptif untuk memastikan pertumbuhan industri yang sehat dan berkelanjutan. Menurut Calvin, regulasi yang jelas akan memberikan kepastian bagi pelaku industri dan mempercepat adopsi kripto di masyarakat.
Calvin juga memberikan beberapa contoh hal yang perlu dipertimbangkan dalam penyusunan regulasi, di antaranya:
- Pemberian insentif pajak yang lebih ringan.
- Percepatan proses listing token-token baru.
- Dukungan untuk produk inovatif seperti Staking dan Futures.
Langkah-langkah ini, menurut Calvin, dapat menstimulasi pertumbuhan pasar kripto secara lebih cepat dan mendorong Indonesia agar tidak tertinggal dari negara lain dalam pemanfaatan teknologi ini. Ia meyakini bahwa kripto, jika diarahkan dengan tepat, dapat menjadi katalis digitalisasi keuangan dan memperkuat daya saing fintech nasional di tingkat global.
Tantangan dan Solusi untuk Pertumbuhan Kripto di Indonesia
Meskipun peluang terbuka lebar, industri kripto di Indonesia juga menghadapi sejumlah tantangan. Salah satunya adalah maraknya exchange ilegal yang mengambil porsi besar transaksi pengguna. Selain itu, regulasi pajak yang belum sepenuhnya sesuai dengan karakteristik pasar kripto yang bersifat lintas batas juga menjadi perhatian.
Calvin Kizana menekankan bahwa konsolidasi antarotoritas, seperti OJK, Bank Indonesia, dan Direktorat Jenderal Pajak, menjadi kunci untuk membangun regulasi yang seimbang. Regulasi yang ideal harus mampu melindungi konsumen, menjaga stabilitas sistem keuangan, dan pada saat yang sama memberikan ruang bagi inovasi.
Data dari Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa penerimaan pajak kripto hingga 31 Agustus 2025 mencapai Rp 1,61 triliun, atau hampir 4% dari total penerimaan pajak ekonomi digital yang mencapai Rp 41,09 triliun. Angka ini menunjukkan potensi besar kripto sebagai sumber penerimaan negara.
Calvin menyimpulkan bahwa potensi kripto sebagai instrumen pembayaran di Indonesia tidak hanya bergantung pada kesiapan teknologi, tetapi juga pada keberanian regulasi untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman. Dengan dukungan kebijakan yang tepat, kripto dapat bertransformasi dari sekadar instrumen investasi menjadi bagian integral dari sistem pembayaran digital nasional.
Posting Komentar untuk "Kripto sebagai Alat Pembayaran: Industri Indonesia Menanti Regulasi Jelas"