Rp200 Triliun untuk Himbara: Dorong Ekonomi atau Picu Krisis Kredit?

Serapan Rp200 Triliun Himbara, antara Pemacu Ekonomi atau Bom Waktu Kredit


Penyerapan likuiditas dari dana pemerintah oleh Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) menjadi topik hangat yang menyita perhatian. Sejumlah ekonom menyuarakan kewaspadaan, mengingatkan agar penyaluran dana tersebut dilakukan dengan sangat hati-hati. Langkah ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang tengah melambat, namun potensi risiko di kemudian hari juga patut diwaspadai.

Respons Cepat Himbara: BRI Memimpin Penyerapan Dana

PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) menjadi salah satu yang paling agresif dalam menyerap dana pemerintah. Perusahaan ini telah menyerap 45% dari alokasi yang diterimanya, yaitu sebesar Rp55 triliun dari Kementerian Keuangan. Direktur Utama BRI, Hery Gunardi, mengungkapkan bahwa sebagian besar dana tersebut telah disalurkan ke sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), yang merupakan segmen inti bisnis perseroan.

“Sekitar 45% telah tersalurkan ke lapangan. Sebagian besar dana ini mengalir ke UMKM, karena BRI adalah bank dengan segmen UMKM terbesar di Indonesia,” ujar Hery di Jakarta pada Kamis, 2 Oktober 2025. BRI mencatat rata-rata penyaluran kredit mencapai Rp1,5 triliun per hari, dengan target penyaluran Rp55 triliun akan rampung dalam waktu maksimal dua bulan. Optimisme ini mencerminkan komitmen Himbara dalam mendukung program pemerintah untuk mempercepat pemulihan ekonomi.

Kewaspadaan Ekonom: Potensi Risiko dan Tantangan

Meskipun disambut baik, laju cepat penyaluran dana ini tidak luput dari sorotan para pengamat ekonomi. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, mengingatkan akan risiko yang muncul jika akselerasi penyaluran tidak dibarengi dengan ketelitian. “Terlalu cepat penyalurannya dengan nominal yang sangat besar. Bisa jadi NPL ketika kecepatan penyaluran tidak diimbangi dengan kehati-hatian, terutama pada sektor usaha yang risikonya tinggi,” kata Bhima.

Fundamental Debitur dan Permintaan Kredit

Bhima juga menyoroti kondisi fundamental debitur saat ini yang belum tentu sejalan dengan derasnya arus kredit. Ia menilai permintaan kredit cenderung rendah dalam beberapa waktu terakhir, sehingga percepatan penyaluran oleh bank perlu dikaji lebih mendalam. Selain itu, ia khawatir penyaluran dana justru mengalir ke program pemerintah yang belum teruji, seperti program Kopdes Merah Putih.

Dampak Jangka Panjang dan Peran OJK

Dampak dari injeksi Rp200 triliun diperkirakan baru akan terlihat pada kuartal pertama tahun 2026. Bhima mengingatkan bahwa kualitas kredit dari hasil injeksi ini akan terlihat jelas pada periode tersebut, dengan potensi peningkatan Non-Performing Loan (NPL) atau kredit bermasalah. Head of Research Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), Trioksa Siahaan, juga menekankan pentingnya menelaah kembali sejauh mana penempatan dana pemerintah benar-benar terealisasi dalam bentuk penyaluran kredit baru. Ia mengingatkan bahwa kecepatan penyaluran tidak boleh mengorbankan prinsip kehati-hatian.

Kebijakan Pemerintah: Mendorong Pertumbuhan

Pemerintah telah menempatkan dana sebesar Rp200 triliun ke lima bank Himbara, dengan rincian PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI), PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI), PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI), BTN, dan BSI. Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, berharap dana ini benar-benar mengalir ke sektor riil dan tidak hanya berputar di instrumen keuangan. Purbaya optimis bahwa peningkatan likuiditas akan menurunkan bunga di pasar, mendorong pelaku usaha untuk lebih berani meminjam dan mendorong konsumsi masyarakat.

Peran Otoritas Jasa Keuangan

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mahendra Siregar, menyatakan bahwa pihaknya memantau kebijakan ini terhadap dua aspek perbankan: likuiditas dan penyaluran kredit. Mahendra menyebutkan bahwa penempatan dana telah meningkatkan posisi likuiditas bank Himbara. Sebelum penempatan dana, beberapa Bank BUMN memiliki rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) di bawah 20%, namun sekarang semua di atas level tersebut. Selain itu, beberapa Bank BUMN mencatatkan rasio pinjaman terhadap simpanan (loan to deposit ratio/LDR) di atas 90%, yang menunjukkan perbaikan dalam kemampuan bank menyalurkan kredit. Corporate Secretary Bank Mandiri, M. Ashidiq Iswara, menambahkan bahwa kebijakan ini selaras dengan peran Bank Mandiri sebagai agen pembangunan dan mitra strategis negara.

Kesimpulan: Ujian di Depan Mata

Cepatnya serapan dana oleh Himbara menunjukkan optimisme dalam memulihkan ekonomi. Namun, para pengamat terus mengingatkan akan pentingnya kehati-hatian agar langkah cepat tidak berujung pada masalah di kemudian hari. Kuartal I/2026 akan menjadi momen krusial untuk melihat dampak sebenarnya dari injeksi dana Rp200 triliun, apakah mampu menjadi penggerak roda ekonomi atau justru memicu peningkatan NPL yang signifikan.

Posting Komentar untuk "Rp200 Triliun untuk Himbara: Dorong Ekonomi atau Picu Krisis Kredit?"