Pemerintah Indonesia menghadapi tantangan serius dalam mengatasi stagnasi ekonomi. Upaya yang selama ini dilakukan dengan mengandalkan kebijakan fiskal dinilai belum cukup efektif untuk mendorong pertumbuhan berkelanjutan.
Analisis INDEF: Sektor Riil Butuh Perhatian Serius
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eisha Maghfiruha Rachhbini, menyoroti bahwa akar permasalahan ekonomi saat ini terletak pada sektor riil yang masih dibebani oleh berbagai masalah kebijakan dan lingkungan bisnis yang belum kondusif. Kebijakan pemerintah yang menempatkan dana Rp 200 triliun ke perbankan, yang bertujuan meningkatkan likuiditas untuk mendorong sektor riil, dinilai belum mampu menyelesaikan masalah secara menyeluruh.
Eisha menjelaskan, "Kebijakan hanya menggeser dana dari BI ke perbankan yang ditujukan untuk meningkatkan likuiditas agar mendorong sektor riil, tidak serta-merta akan menyelesaikan masalah di saat permintaan masyarakat sedang turun karena daya beli sedang turun, juga di sisi suplai sektor riil sedang melambat di tengah ketidakpastian yang tinggi." Pernyataan ini disampaikan dalam keterangan tertulis pada Minggu, 28 September 2025.
Data yang Mengkhawatirkan: Pelemahan Sektor Riil
Data yang dihimpun oleh INDEF menunjukkan pelemahan signifikan pada sektor riil. Penjualan kendaraan mengalami penurunan (wholesale -8,6% dan retail -9,5% pada Januari-Juni 2025), serta PMI manufaktur berada di zona kontraksi selama triwulan II-2025. Investasi asing langsung (FDI) juga mengalami penurunan menjadi Rp 202,2 triliun, yang disebabkan oleh ketegangan geopolitik, proteksionisme, dan persaingan global dalam menarik modal.
Melemahnya Permintaan Domestik dan Dampaknya
Permintaan domestik juga mengalami pelemahan, tercermin dari melambatnya konsumsi rumah tangga. Inflasi meningkat pada Januari-Juli 2025 sebesar 2,37%, dan peningkatan pemutusan hubungan kerja (PHK) sebesar 32% pada semester I-2025 semakin menekan daya beli masyarakat.
Kebijakan Fiskal: Keseimbangan yang Perlu Dijaga
Eisha menekankan bahwa kebijakan fiskal, yang dijalankan melalui APBN, seharusnya berfokus pada menjaga keseimbangan ekonomi, bukan hanya membanjiri likuiditas. "Membanjiri likuiditas justru akan mendorong ketidakseimbangan pada pasar keuangan dan berdampak akibat dari kebijakan penempatan dana pada perbankan," ujarnya.
Dampak Injeksi Likuiditas yang Berlebihan
Menurut Eisha, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa perlu mempertimbangkan dampak penempatan dana tersebut secara lebih komprehensif, baik pada pasar keuangan maupun sektor riil. Injeksi likuiditas yang berlebihan berpotensi menimbulkan masalah baru, terutama dalam situasi lemahnya permintaan kredit.
Prioritas Kebijakan: Dorong Daya Beli dan Reformasi Struktural
Eisha berpendapat bahwa pemerintah perlu memfokuskan strategi kebijakan fiskal untuk mendorong daya beli masyarakat, terutama mereka yang berpenghasilan rendah. Peran kebijakan fiskal sebagai bantalan guncangan ekonomi sangat krusial di saat daya beli masyarakat menurun.
Reformasi Struktural: Kunci Pemulihan Ekonomi Berkelanjutan
Lebih lanjut, Eisha menegaskan bahwa injeksi likuiditas tanpa disertai reformasi struktural pada sektor riil dan investasi serta perbaikan daya beli masyarakat akan memperdalam decoupling antara sektor riil dan moneter, yang telah terlihat sejak paruh kedua 2024 sebagai akibat pengetatan oleh BI sejak pertengahan 2023.
"Structural reform untuk memperbaiki iklim investasi dan usaha sangat mutlak diperlukan untuk meningkatkan kepastian usaha agar dunia usaha terdorong untuk berekspansi," tegasnya.
Stimulus yang Efektif: Lebih dari Sekadar Paket Jangka Pendek
Menteri Keuangan dinilai perlu mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan kepercayaan konsumen dan mendorong daya beli, termasuk melalui stimulus fiskal untuk meningkatkan belanja rumah tangga. Eisha mengkritik bahwa kebijakan stimulus 8+4 yang ada belum cukup untuk mengatasi persoalan fundamental.
"(Paket ekonomi yang telah diumumkan) bersifat jangka pendek dan tidak sepenuhnya menjawab persoalan fundamental, yakni stagnasi pendapatan riil serta terbatasnya penciptaan lapangan kerja berkualitas. Tanpa perbaikan distribusi pendapatan dan penguatan sisi permintaan domestik secara berkelanjutan, efek stimulus akan cepat mereda begitu intervensi fiskal dihentikan," pungkas Eisha.
Posting Komentar untuk "Indonesia: Ekonomi Stagnan? Reformasi Sektor Riil Lebih Mendesak dari Kebijakan Fiskal"