Indonesia di Persimpangan: Antara Ekonomi Hijau & Pelestarian Lingkungan

Indonesia Galau Antara Ekonomi dan Lindungi Lingkungan?


FINANSIALFAMILY - - Indonesia saat ini menghadapi tantangan besar dalam menyeimbangkan antara pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan upaya pelestarian lingkungan. Keseimbangan ini menjadi krusial dalam menghadapi dampak perubahan iklim yang semakin nyata. Terlihat adanya keraguan dalam komitmen pemerintah terhadap perbaikan iklim, yang tercermin dalam dokumen Second Nationally Determined Contribution (SNDC) dan juga dalam partisipasi Indonesia di COP30 di Belém, Brasil.

Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), menilai bahwa dokumen SNDC mengandung kontradiksi dalam implementasi pembangunannya. Model yang digunakan dalam dokumen tersebut juga dianggap tidak valid dan tidak dapat dijadikan rujukan ilmiah. Pemerintah tampak mengutamakan pertumbuhan ekonomi sebesar 8% dengan mengorbankan peningkatan emisi karbon.

Kontradiksi dalam Kebijakan Lingkungan

Meskipun SNDC menetapkan target restorasi 2 juta hektare lahan gambut dan rehabilitasi 8,3 juta hektare untuk mengurangi emisi, kebijakan nasional lainnya justru menimbulkan ancaman serius. Syafiq Gumilang, Manajer Riset Pantau Gambut, menyoroti inkonsistensi ini dalam upaya pemerintah.

Erwin Suryana, Deputi Pengelolaan Program dan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), menyoroti bahwa dokumen SNDC hanya menjadikan laut sebagai aset untuk perdagangan karbon dan finansialisasi. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terkait dampak pada masyarakat lokal.

Ancaman Terhadap Lingkungan: Studi Kasus

Contoh nyata dari ketidakjelasan komitmen lingkungan adalah rencana pembangunan 6,3 GW pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara hingga tahun 2034. Padahal, penanganan polutan eksisting saja belum dilakukan secara serius. Dalam konferensi pers pada Rabu, 19 November 2025, kekhawatiran ini semakin mengemuka.

Ironisnya, beberapa negara lain seperti Korea Selatan dan Bahrain, yang tergabung dalam Powering Past Coal Alliance (PPCA), telah berkomitmen untuk meninggalkan penggunaan batu bara. Mereka bahkan tidak berencana membangun infrastruktur energi kotor tersebut lagi.

Peran Indonesia dalam Pendanaan Iklim

Indonesia juga dinilai kurang aktif dalam mendorong negara-negara maju untuk bertanggung jawab terhadap masalah iklim, terutama dalam hal pendanaan transisi energi. Padahal, pendanaan iklim yang ada saat ini justru menjerat negara berkembang dalam utang. Negara maju mendapatkan keuntungan dari bunga pinjaman tersebut.

Indonesia seharusnya memanfaatkan lobi di kelompok negara berkembang G77 untuk menagih utang iklim, mengurangi beban masyarakat terdampak, dan mendorong pendanaan transisi energi yang berkeadilan, melalui hibah tanpa syarat. Posisi Indonesia yang lebih menekankan pada penjualan kredit karbon dianggap kurang tepat.

Pasar Karbon dan Potensi Solusi

Prediksi menunjukkan bahwa pasar karbon pasca-COP30 kemungkinan akan sepi akibat SNDC yang dinilai kurang serius. Perdagangan karbon juga dianggap menghadirkan solusi semu. Investor lebih tertarik pada solusi yang berfokus langsung pada konservasi hutan.

Oleh karena itu, inisiatif pendanaan tropical forest forever fund (TFFF) di COP30 diharapkan dapat terealisasi dengan transparan dan mengakui masyarakat adat. Indonesia telah menyatakan komitmen pendanaan sebesar US$1 miliar dalam mekanisme ini.

Baca Juga: Tidur dengan Lampu Menyala atau Padam? Ini Kata Dokter Soal Kesehatan Tidur

Komitmen Pemerintah: Antara Janji dan Realita

Hashim Djojohadikusumo, Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi, sebelumnya mengumumkan target nol bersih Indonesia pada 2060 atau lebih cepat, dengan pertumbuhan ekonomi 8% per tahun. Strategi ini tertuang dalam dokumen NDC kedua, yang menetapkan plafon emisi 1,2-1,5 gigaton CO2e pada 2035, serta porsi energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2030.

Dalam forum Leader Summit, Hashim juga menekankan komitmen Indonesia untuk memperkuat aksi iklim nasional dan bekerja sama dengan negara lain. Adik Presiden Prabowo ini juga menyebutkan bahwa sektor kehutanan dan lahan menjadi pilar utama dekarbonisasi nasional.

Ancaman Terhadap Lahan Gambut

Program FoLU net sink 2030 bertujuan mengurangi 92-118 juta ton CO2 melalui pencegahan deforestasi, rehabilitasi hutan, konservasi keanekaragaman hayati, serta perlindungan ekosistem gambut dan mangrove. Namun, kebijakan nasional kerap kali menimbulkan ancaman serius terhadap lahan gambut.

Sebagai contoh, kawasan ekosistem gambut seluas 814.712 hektare dengan fungsi budidaya dan 335.996 hektare kawasan gambut fungsi lindung di Papua masuk dalam area food estate. Di Kalimantan Tengah, food estate menyebabkan hilangnya tutupan pohon seluas ribuan hektare pada tahun-tahun tertentu.

Pengelolaan Lahan Gambut yang Kontroversial

Selain itu, pemerintah juga memberikan izin untuk sekitar 400.000 hektare sawit ilegal di lahan gambut. Sebanyak 84% berada di kawasan lindung dan 16% di fungsi budidaya. Hal ini menunjukkan inkonsistensi dalam penegakan hukum dan perlindungan lingkungan.

Pantau Gambut mencatat terdapat banyak perusahaan yang memiliki izin di kawasan gambut, baik untuk hutan tanaman industri (HTI) maupun Restorasi Ekosistem (RE). Izin-izin ini dinilai menimbulkan penguasaan lahan skala besar dan berpotensi menimbulkan konflik agraria.

Perdagangan Karbon dan Dampaknya pada Masyarakat Pesisir

Erwin Suryana dari Kiara menyampaikan bahwa SNDC hanya menjadikan laut sebagai aset untuk perdagangan karbon dan finansialisasi. Hal ini berpotensi menimbulkan praktik konservasi tanpa partisipasi masyarakat (fortress conservation), yang menghilangkan akses masyarakat pesisir terhadap sumber daya laut.

Pemerintah sebelumnya telah meluncurkan blue bond untuk konservasi terumbu karang, namun hal ini bertentangan dengan aktivitas pertambangan di beberapa pulau. Kontradiksi ini menimbulkan keraguan terhadap komitmen perlindungan laut dan potensi dampak negatif pada masyarakat lokal.

Kesimpulan

Organisasi masyarakat sipil berupaya memperjuangkan hak-hak nelayan dan masyarakat pesisir di COP30, serta mendorong penghentian kegiatan eksploitasi perikanan skala besar. Upaya ini sejalan dengan praktik konservasi yang telah lama dilakukan oleh masyarakat adat dan nelayan tradisional.

BRITISH PROPOLIS | Suplemen Terbaik Alami

British Propolis Slide 1 British Propolis Slide 2 British Propolis Slide 3

Nama Produk: BRITISH PROPOLIS REGULER

Rp. 250.000/botol

(Gratis ONGKIR untuk Pulau Jawa)

Manfaat British Propolis:

  • Membantu meningkatkan sistem kekebalan tubuh.
  • Berperan sebagai antibiotik alami dan detoksifikasi tubuh.
  • Membantu mempercepat penyembuhan luka bakar dan luka kulit lainnya.
  • Membantu mengatasi gangguan pencernaan ringan seperti sakit maag.
  • Sebagai pelengkap terapi untuk kondisi seperti diabetes, kolesterol tinggi, asam urat, dan beberapa jenis kanker (tetap harus dikonsultasikan dengan dokter).
  • Pada anak-anak, British Propolis Green dikhususkan untuk membantu meningkatkan nafsu makan dan menjaga imunitas dari flu, batuk, dan radang amandel.

Posting Komentar untuk "Indonesia di Persimpangan: Antara Ekonomi Hijau & Pelestarian Lingkungan"